just check !

Sabtu, 12 Januari 2013


Berbagai Masalah Sosial pada Masyarakat Multi Etnik



Latar belakang
       Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antarasedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil (lihat Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
       Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik(ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawananterhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.

Rumusan masalah
·         Apakah yang dimaksud dengan masalah sosial masyarakat ?
·         Apa saja pemicu masalah konflik ?
·         Apa solusi yang dapat dilakukan dalam hal ini ?




Tujuan masalah
·         Mengetahui apa yang dimaksud dengan masalah sosial masyarakat.
·         Mengetahui sebab pemicu danya konflik.
·         Memahami hal-hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah sosial.


MASALAH-MASALAH SOSIAL
DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK

1.        Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
       Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
       Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan“Bhineka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
       Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu. Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai Era Reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution). Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis.
       Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku. Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul. Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan manusia?

A.     Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
1.      Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
       Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.
       Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah, dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:  yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45).
       Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaianpenyesuaian dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.
       Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan
bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri.
       Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik merupakan suatu hal yang pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk aktivitas hidup manusia.
       Indonesia telah memulai program desentralisasi yang cukup radikal yang telah menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit, khususnya tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan juga kemungkinan melebarnya jurang ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih kaya maju sangat pesat, meninggalkan kabupaten-kabupaten lainnya.
2.      Ketidakadilan Sosial
       Di negara yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi bahaya dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam akan muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan pemunculan kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya berbagai konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya kepercayaan kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan masa depan reformasi ekonomi Indonesia.
       Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi lapisan subur bagi tumbuhnya konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan dari luar sengaja memanaskan suhu. Namun, ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi seringkan digunakan sebagai legitimasi pembenar.
       Mereka kini menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau pekerjaan. Ketika masyarakat menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya, mereka tidak sekedar menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi mereka juga menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka belum terpenuhi.
B.     Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
       Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
1.      Membangun Hubungan Kekuatan
       Dalam masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.
       Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia.
       Proses sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
       Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah (Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik. Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan, kesenian dan pendidikan.

Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban
       (Cohen, 1970: 65)
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh
2.      Membangun Budaya Toleransi
       Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa.
       Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis ideologi Pancasila juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of national unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
       Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan.
       Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru saja menerbitkan sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005).Menurut Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini. "Semakin sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan demikian, kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian pernyataan Jero Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2).
       Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya. Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.
3.      Pendidikan
       Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI).
       Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan (Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilainilai masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang saling bertentangan.
       Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu.
       Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang mulia.
       Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas.

kesimpulan
      Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan, wilayah-wilayah yang secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama Indonesia pun diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon dari Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa sebenarnya konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara moral?
       Indonesia masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang isu-isu berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa. Rumusan yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan gelombang globalisasi.


DAFTAR PUSTAKA
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order.
New York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.”
Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan
Melalui Perspektif Budaya Lokal" yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta, 18 – 19 April 2006 di Wisma Kinasih Kaliurang.
Wakhinudin, S., 2006. “Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran Multi-Etnik dalam Era Reformasi” dalam Portal Informasi Pendidikan di Indonesia.

 RICKY REYHANDIKA ROUZY
16112291
1KA38 - UNIVERSITAS GUNADARMA

Makalah Tawuran Pelajar




I. Pendahuluan

1.     1.  Latar Belakang Masalah
Tawuran yang sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar seolah sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi ditelinga kita. Inilah beberapa contoh yang bisa saya kemukakan sebagai bukti terjadinya tawuran yang dilakukan oleh para remaja beberapa tahun lalu. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang).
Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com).
Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah (tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com).
Kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian atau tawuran itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara langsung.
 Lalu mengapa tawuran antar pelajar ini bisa terjadi?  Faktor apa sajakah yang menyebabkan tawuran antar pelajar ini? Apa saja dampak yang ditimbulkan dari tawuran yang dilakukan? Dan bagaimanakah kita sebagai manusia-manusia perbaikan bangsa mencari jawaban atas semua permasalahan-permasalahan yang terjadi pada tawuran pelajar ini?



II. Landasan Teori
1.      Pengertian Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para  remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.

III. Pembahasan
1.      Faktor- faktor yang menyebabkan tawuran pelajar
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar, diantaranya :
a.       Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi, tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya.

b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yaitu :

1.      Faktor Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu ketidak harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan  yang dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
3
 Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu
 penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Jadi disinilah peran orangtua sebagai penunjuk jalan anaknya untuk selalu berprilaku baik.

2.      Faktor Sekolah
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan  para siswa pandai secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya  disekolah tidak jarang ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik anak muruidnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang baik.

3.        Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.


2.      Hal yang menjadi pemicu tawuran
Tak jarang disebabkan oleh saling mengejek atau bahkan hanya saling menatap antar sesama pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya.

3.      Dampak karena tawuran pelajar
a.       Kerugian fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai kematian
b.      Masyarakat sekitar juga dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga
c.       Terganggunya proses belajar mengajar
d.      Menurunnya moralitas para pelajar
e.       Hilangnya perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai

4.      Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi tawuran pelajar
a.       Memberikan pendidikan moral untuk para pelajar
b.      Menghadirkan seorang figur yang baik untuk dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang guru, orangtua, dan teman sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik
c.       Memberikan perhatian yang lebih untuk para remaja yang sejatinya sedang mencari jati diri
d.      Memfasilitasi para pelajar untuk baik dilingkungan rumah atau dilingkungan sekolah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat  diwaktu luangnya. Contohnya  : membentuk ikatan remaja masjid atau karangtaruna dan membuat acara-acara yang bermanfaat, mewajibkan setiap siswa mengikuti organisasi atau ekstrakulikuler disekolahnya

Kartini kartono pun menawarkan beberapa cara untuk mengurangi tawuran remaja, diantaranya :
1.      Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
2.       Memberikan kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
3.      . Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja

IV. Kesimpulan dan Saran

1.      Kesimpulan
Faktor yang menyebabkan tawuran remaja tidak lah hanya datang dari individu siswa itu sendiri. Melainkan juga terjadi karena faktor-faktor lain yang datang dari luar individu, diantaranya faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor lingkungan.
Para pelajar yang umumnya masih berusia remaja memiliki kencenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang mana kemungkinan dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka inilah peran orangtua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mengingatkan anaknya jika sang anak tiba-tiba melakukan kesalahan. Keteladanan seorang guru juga tidak dapat dilepaskan. Guru sebagai pendidik bisa dijadikan instruktur dalam pendidikan kepribadian para siswa agar menjadi insan yang  lebih baik.
Begitupun dalam mencari teman sepermainan. Sang anak haruslah diberikan pengarahan dari orang dewasa agar mampu memilih teman yang baik. Masyarakat sekitar pun harus bisa membantu para remaja dalam mengembangkan potensinya dengan cara mengakui keberadaanya.

2.      Saran
Dalam menyikapi masalah remaja terutama tentang tawuran pelajar diatas, penulis memberikan beberapa saran. Diantaranya :
a.       Keluarga sebagai awal tempat pendidikan para pelajar harus mampu membentuk pola pikir yang baik untuk para pelajar
b.      Masyarakat mesti menyadari akan perannya dalam menciptakan situasi yang kondusif
c.       Lembaga pendidikan formal sudah semestinya memberikan pelayanan yang baik untuk membantu para pelajar mengasah kemampuan dan mengembangkan segala potensi yang ada didalam dirinya


sumber :
Hartono, Agung., Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta.,2006


RICKY REYHANDIKA ROUZY
16112291
1KA38 - UNIVERSITAS GUNADARMA

Masalah Sosial Pekerja Seks Komersial



Masalah perekonomian memang selalu menjadi masalah pokok bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kondisi perekonomian negara akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduknya. Apabila perekonomian negara berjalan dengan semestinya maka kesejahteraan masyarakat akan relative stabil. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak terjadi, maka akan terjadi krisis perekonomian, dan masyarakat pun akan ikut menanggung dampak dari krisis tersebut. Indonesia pun pernah mengalami krisis yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, yang telah menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus ditanggung masyarakat Indonesia.
Salah satu dampak dari adanya krisis tersebut adalah angka pengangguran yang semakin bertambah.
Minimnya lapangan kerja, membuat sebagian penduduk Indonesia mencari pekerjaan alternatife yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan berwiraswasta. Bagi mereka yang tidak memiliki keahlian atau modal yang cukup, maka mereka cenderung memilih untuk mencari pekerjaan yang yang tidak menuntut keterampilan, keahlian dan modal yang tinggi, salah satunya dengan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) atau menjadi pembantu rumah tangga. Kodisi- kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak yang mengejar keuntungan dengan menjadikan wanita-wanita tersebut sebagai pekerja seks komersial. (PSK), baik di dalam maupun untuk dikirim ke luar negeri. Hal ini memicu peningkatan angka Trafficking (perdagangan manusia) yang semakin hari semakin meningkat, dengan korban terbanyak adalah wanita dan anak-anak.
Dari data ILO ( International Labour Organization) menyebutkan bahwa terdapat beberapa daerah di Indonesia yang memiliki intensitas paling tinggi dalam praktek-praktek perdagangan wanita (Trafficking). Daerah-daerah tersebut diantaranya adalah Jawa Barat : Indramayu, Sukabumi, dan Karawang. Jawa Tengah : Jepara, Pati dan Pekalongan, serta Jawa Timur : Jember, Banyuwangi, dan sampang. Sementara dari luar Jawa, antara lain Binjai, Belawan (Sumatera Utara), pariaman (Sumatera Barat), Manado dan kendari (Sulawesi). 
Meski Majalengka tidak masuk jajaran daerah yang telah disebutkan tadi, namun prostitusi di majalengka tidak boleh dipandang sebelah mata. Pasalnya letak majalengka yang berada dijalur Pantura, serta berdekatan dengan Indramayu membuat para PSK asal Indramayu menjadikan Majalengka sebagai daerah pilihan ke tiga setelah Bandung dan Jabodetabek. Tak heran di Majalengka sendiri khususnya di Cilumpang sebagian besar PSK nya berasal dari Indramayu. Apalagi setelah Saritem ditutup dan Majalengka sedang membangun Bandara Internasional membuat PSK asal Indramayu terus bertambah. Daerah-daerah yang menjadi pemasok wanita penghibur tersebut meliputi beberapa desa di kabupaten Indramayu diantaranya kecamatan Bongas, Sukra, dan Anjatan. (http://.gatra.com/2002-10-08/versi_cetak.php?id=211769). Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani, daerah miskin dengan angka putus sekolah tinggi, kualitas sumber daya manusia rendah serta tradisi kawin muda dan kawin-cerai masih dianut masyarakat (Wahyudi, dkk,2004:7). Berbeda dengan Indramayu, wanita penghibur yang asli berasal dari Majalengka tidak begitu banyak. Mereka tersebar di beberapa tempat seperti di Terminal Cigasong, Rajagaluh, kadipaten dan Jatiwangi (Cilumpang). Mereka umumnya berasal dari keluaraga kurang mampu yang taraf pendidikannya rendah. 
Para PSK biasanya tertarik dengan bujukan para calo yang bekerja untuk perusahaan penyalur tenaga kerja tertentu yang sudah pasti illegal, bahwa mereka akan mendapakan gaji yang besar dan jaminan hidup yang memadai, namun ternyata mereka malah dipekerjakan sebagai PSK. Mudahnya para wanita tersebut menjadi korban penipuan, tidak lain adalah karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Karena sebagian besar dari mereka hanya berijazah sekolah dasar. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya pandangan masyarakat setempat yang menganggap bahwa pendidikan untuk bagi Hawa tidak terlalu penting, meskipun mereka berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya akan tetap kembali ke Kasur, Sumur, dan Dapur. Paham seperti inilah yang harus diberantas agar jumlah wanita penghibur dapat berkurang.
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa wanita dan anak-anak di Indonesia masih sangat bergantung pada orang tua, mereka masih berada dalam posisi yang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri. anak rentan terhadap permintaan dan harapan dari orang yang lebih tua, terutama orang tua mereka sendiri. wanita Indonesia memiliki sebuah tanggung jawab sosial yang besar dalam perekonomian keluarga. Semenjak krisis ekonomi tahun 1997, keikut sertaan wanita dalam perekonomian menjadi strategi utama untuk kelangsungan hidup bagi banyak keluarga Indonesia. (Rosenberg, 2003: 99) 
Budaya masyarakat Indramayu yang menyiratkan betapa rendahnya moral mereka, dan menjadi salah satu penyebab maraknya prostitusi di Indramayu adalah sebagai berikut : contoh, masyarakat Indramayu ada yang beranggapan bahwa menjadi pelacur bukanlah suatu aib, selain itu seandainya anak wanitanya berparas cantik, dianggap sebagai aset yang dapat dijual. Bahkan janda dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan. Budaya inilah yang dibawa PSK asal Indramayu, yang lambat laun mempengaruhi budaya setempat, maka tidak jarang wanita di daerah-daerah prostitusi di Majalengka khususnya di Cilumpang turut meramaikan dunia prostitusi di tanah kelahirannya.
Selain faktor budaya, faktor spiritual juga sangat mempengaruhi maraknya aktivitas prostitusi di majalengka. Sebagian besar wanita yang terjun ke dunia prostitusi terbut rata-rata pemahaman tentang agamanya sangat kurang. Pola pengasuhan anak dalam keluarga sangant mempengaruhi tingkat keberhasilan anak tersebut. Jika orang tua kurang memberikan pendidikan agama pada anaknya maka akibat yang akan muncul adalah anak tersebut akan mudah terpengaruh, mudah terjerumus ke hal-hal negatif seperti dunia prostitusi.
Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang lemah juga sangat mempengaruhi, mereka cenderung memilih pekerjaan yang tidak menuntut keahlian dan keterampilan yang tinggi, yang salah satunya adalah dunia Prostitusi. Seperti yang di ungkapkan Christian Lempelius dan Gert Thomas (1979:2), sebagai berikut: 

“kondisi-kondisi pokok yang menentukan perkembangan usaha industri kecil di daerah-daerah pedesaan dipengaruhi oleh: ketidak seimbangan yang terdapat antara sector industri kecil di daerah-daerah pedesaan, pengaruh kondisi kekuasaan setempat serta ketergantungan yang ditimbulkan olehnya, masalah yang tidak memadai serta kurang tegasnya dalam realisasi kebijakan di sector industri dan perekonomian, serta adanya faktor budaya masyarakat setempat” 
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap maraknya dunia prostitusi. Sesuai dengan penelitian yang mengkaji kehidupan PSK di Majalengka, setelah melakukan pengamatan sepintas ternyata banyak fakta yang mengejutkan dilapangan. Seperti ; PSK yang sudah bekerja keras seharian harus rela membagi pendapatannya dengan mamih (germo) dan calo (perantara). Yang paling memprihatinkan pembagian tersebut dapat dikatakan tidak adil, karena mereka hanya mendapat bagian sebesar 25-50% dari keseluruhan pendapatan dalam satu hari. (Wawancara dengan anggur (nama samaran), tanggal 7 februari 2010).

Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, kondisi ini dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Tetapi walau bagaimanapun praktek “esek-esek” tetaplah haram dimata agama dan melanggar hukum menurut Undang-undang negara, apalagi di Majalengka sendiri sudah berlaku Peraturan Daerah (perda) no 14 tahun 2007 yang melarang segala bentuk prostitusi di kabupaten Majalengka. Mereka terjebak dalam dilema antara ekonomi, norma dan agama. Satu sisi mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan ekonomi, satu sisi mereka malu untik kembali ke kehidupannya semula karena masih banyaknya masyarakat yang memvonis bahwa profesi yang mereka lakukan sangat menjijika, apapun sebabnya. Namun mereka percaya terhadap hari pembalasan (muslim), yang akan membalas semua perbuatan yang mereka lakukan saat ini. Pengabdian terhadap keluarga menjadi faktor pendorong mereka tetap menjalani profesi tersebut, meskipun dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan. 
Kondisi-kondisi seperti inilah yang melatar belakangi peneliti mengambil judul: “Kehidupan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Cilumpang Majalengka Tahun 1989-2009” (Suatu kajian Ekonomi dan Sosial-Budaya). Selain itu alasan peneliti mengambil judul tersebut adalah karena , pertama, sepengetahuan peneliti belum pernah ada yang mengungkap prostitusi di Cilumpang dengan pendekatan ekonomi, sosial-budaya pada tahun 1989-2009, khususnya di jurusan pendidikan Sejarah Universitas Galuh Ciamis. Kedua, bomingnya isu ketidakadilan gender di masyarakat yang mendorong peneliti untuk mengungkap permasalahan tersebut, dengan mengkaji para PSK di Cilumpang Majalengka yang notabene adalah wanita yang telah dieksploitasi keindahannya dalam praktek-praktek prostitusi. Ketiga, ketertarikan peneliti tentang pandangan masyarakat terhadap PSK, serta kebenaran isu bahwa masyarakat Indramayu mendorong keluarganya untuk terjun ke
dunia PSK. Sementara kurun waktu yang dilpih peneliti adalah dari tahun 1989-2009, selama 20 tahun tersebut akan peneliti ungkap perkembangan kehidupan para PSK di Cilumpang. 
I.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah 
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagimana perkembangan prostitusi di Majalengka selama kurun waktu 20 tahun dari 1989-2009?”.
Untuk memudahkan dan mengarahkan penelitian ini, agar tidak menyimpang terlalu jauh, maka peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan dalm bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagimana kondisi kehidupan masyarakat Majalengka pada kurun waktu tahun 1989-2009?
2. Bagaimana perkembangan PSK di Cilumpang dalam mempertahankan hidupnya selama kurun waktu 1989-2009?
3. Bagaimana analisis faktor sosial-budaya dan ekonomi PSK di Cilumpang?
4. Apa dampak yang ditimbulkan dari kegiatan prostitusi di Cilumpang? Baik itu bagi PSK nya sendiri, Pemerintah, maupun masyarakat luas. 

I.3 Tujuan Penelitian 
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. manjelaskan kondisi kehidupan sosial masyarakat Majalengka dari tahun 1989-2009, yang meliputi berbagai sendi kehidupan baik itu kehidupan ekonomi, Sosial, keagamaan, budaya, dan lain-lain, beserta pengaruhnya terhadap peningkatan aktivitas prostitusi di Cilumpang.
2. Menjelaskan serta mengungkap bagaimana kehidupan para PSK di Cilumpang, yang meliputi jam kerja, sistem upah, suka dan duka jadi PSK, serta mendeskripsikan pola hubungan antara PSK dengan germo/mucikari di Cilumpang antara tahun 1989-2009 dalam persfektif sosial-budaya dan ekonomi.
3. Menganalisis pengaruh kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat Cilumpang pada kurun waktu 1989-2009 terhadap perkembangan prostitusi yang dilakukan para PSK di Cilumpang-Majalengka.
4. Menganalisis dampak yang ditimbulkan para PSK, baik itu bagi para PSK-nya sendiri, pemerintah dan masyarakat luas, yang meliputi berbagai pandangan masyarakat terhadap para PSK.






saran :  sebaiknya pemerintah lebih banyak membuka lapangan pekerjaan bagi kaum wanita. Sehingga mereka tidak perlu bekerja sebagai psk. Dan memperluas pelatihan pelatihan untuk membuka usaha. Agar tercipta kekreatifitasan untuk membuka suatu usaha/ pekerjaan yg lebih baik.



RICKY REYHANDIKA ROUZY
16112291
1KA38 - UNIVERSITAS GUNADARMA