Masalah Sosial Pekerja Seks Komersial
Masalah perekonomian
memang selalu menjadi masalah pokok bagi negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Kondisi perekonomian negara akan sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan penduduknya. Apabila perekonomian negara berjalan dengan
semestinya maka kesejahteraan masyarakat akan relative stabil. Akan tetapi
apabila hal tersebut tidak terjadi, maka akan terjadi krisis perekonomian, dan
masyarakat pun akan ikut menanggung dampak dari krisis tersebut. Indonesia pun
pernah mengalami krisis yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, yang telah
menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus ditanggung masyarakat Indonesia.
Salah satu dampak dari adanya krisis tersebut adalah angka pengangguran yang semakin bertambah.
Salah satu dampak dari adanya krisis tersebut adalah angka pengangguran yang semakin bertambah.
Minimnya lapangan kerja,
membuat sebagian penduduk Indonesia mencari pekerjaan alternatife yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan berwiraswasta. Bagi mereka yang
tidak memiliki keahlian atau modal yang cukup, maka mereka cenderung memilih
untuk mencari pekerjaan yang yang tidak menuntut keterampilan, keahlian dan modal
yang tinggi, salah satunya dengan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) atau
menjadi pembantu rumah tangga. Kodisi- kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh
pihak yang mengejar keuntungan dengan menjadikan wanita-wanita tersebut sebagai
pekerja seks komersial. (PSK), baik di dalam maupun untuk dikirim ke luar
negeri. Hal ini memicu peningkatan angka Trafficking (perdagangan manusia) yang
semakin hari semakin meningkat, dengan korban terbanyak adalah wanita dan
anak-anak.
Dari data ILO ( International Labour Organization) menyebutkan bahwa terdapat beberapa daerah di Indonesia yang memiliki intensitas paling tinggi dalam praktek-praktek perdagangan wanita (Trafficking). Daerah-daerah tersebut diantaranya adalah Jawa Barat : Indramayu, Sukabumi, dan Karawang. Jawa Tengah : Jepara, Pati dan Pekalongan, serta Jawa Timur : Jember, Banyuwangi, dan sampang. Sementara dari luar Jawa, antara lain Binjai, Belawan (Sumatera Utara), pariaman (Sumatera Barat), Manado dan kendari (Sulawesi).
Meski Majalengka tidak masuk jajaran daerah yang telah disebutkan tadi, namun prostitusi di majalengka tidak boleh dipandang sebelah mata. Pasalnya letak majalengka yang berada dijalur Pantura, serta berdekatan dengan Indramayu membuat para PSK asal Indramayu menjadikan Majalengka sebagai daerah pilihan ke tiga setelah Bandung dan Jabodetabek. Tak heran di Majalengka sendiri khususnya di Cilumpang sebagian besar PSK nya berasal dari Indramayu. Apalagi setelah Saritem ditutup dan Majalengka sedang membangun Bandara Internasional membuat PSK asal Indramayu terus bertambah. Daerah-daerah yang menjadi pemasok wanita penghibur tersebut meliputi beberapa desa di kabupaten Indramayu diantaranya kecamatan Bongas, Sukra, dan Anjatan. (http://.gatra.com/2002-10-08/versi_cetak.php?id=211769). Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani, daerah miskin dengan angka putus sekolah tinggi, kualitas sumber daya manusia rendah serta tradisi kawin muda dan kawin-cerai masih dianut masyarakat (Wahyudi, dkk,2004:7). Berbeda dengan Indramayu, wanita penghibur yang asli berasal dari Majalengka tidak begitu banyak. Mereka tersebar di beberapa tempat seperti di Terminal Cigasong, Rajagaluh, kadipaten dan Jatiwangi (Cilumpang). Mereka umumnya berasal dari keluaraga kurang mampu yang taraf pendidikannya rendah.
Para PSK biasanya tertarik dengan bujukan para calo yang bekerja untuk perusahaan penyalur tenaga kerja tertentu yang sudah pasti illegal, bahwa mereka akan mendapakan gaji yang besar dan jaminan hidup yang memadai, namun ternyata mereka malah dipekerjakan sebagai PSK. Mudahnya para wanita tersebut menjadi korban penipuan, tidak lain adalah karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Karena sebagian besar dari mereka hanya berijazah sekolah dasar. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya pandangan masyarakat setempat yang menganggap bahwa pendidikan untuk bagi Hawa tidak terlalu penting, meskipun mereka berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya akan tetap kembali ke Kasur, Sumur, dan Dapur. Paham seperti inilah yang harus diberantas agar jumlah wanita penghibur dapat berkurang.
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa wanita dan anak-anak di Indonesia masih sangat bergantung pada orang tua, mereka masih berada dalam posisi yang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri. anak rentan terhadap permintaan dan harapan dari orang yang lebih tua, terutama orang tua mereka sendiri. wanita Indonesia memiliki sebuah tanggung jawab sosial yang besar dalam perekonomian keluarga. Semenjak krisis ekonomi tahun 1997, keikut sertaan wanita dalam perekonomian menjadi strategi utama untuk kelangsungan hidup bagi banyak keluarga Indonesia. (Rosenberg, 2003: 99)
Budaya masyarakat Indramayu yang menyiratkan betapa rendahnya moral mereka, dan menjadi salah satu penyebab maraknya prostitusi di Indramayu adalah sebagai berikut : contoh, masyarakat Indramayu ada yang beranggapan bahwa menjadi pelacur bukanlah suatu aib, selain itu seandainya anak wanitanya berparas cantik, dianggap sebagai aset yang dapat dijual. Bahkan janda dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan. Budaya inilah yang dibawa PSK asal Indramayu, yang lambat laun mempengaruhi budaya setempat, maka tidak jarang wanita di daerah-daerah prostitusi di Majalengka khususnya di Cilumpang turut meramaikan dunia prostitusi di tanah kelahirannya.
Selain faktor budaya, faktor spiritual juga sangat mempengaruhi maraknya aktivitas prostitusi di majalengka. Sebagian besar wanita yang terjun ke dunia prostitusi terbut rata-rata pemahaman tentang agamanya sangat kurang. Pola pengasuhan anak dalam keluarga sangant mempengaruhi tingkat keberhasilan anak tersebut. Jika orang tua kurang memberikan pendidikan agama pada anaknya maka akibat yang akan muncul adalah anak tersebut akan mudah terpengaruh, mudah terjerumus ke hal-hal negatif seperti dunia prostitusi.
Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang lemah juga sangat mempengaruhi, mereka cenderung memilih pekerjaan yang tidak menuntut keahlian dan keterampilan yang tinggi, yang salah satunya adalah dunia Prostitusi. Seperti yang di ungkapkan Christian Lempelius dan Gert Thomas (1979:2), sebagai berikut:
“kondisi-kondisi pokok yang menentukan perkembangan usaha industri kecil di daerah-daerah pedesaan dipengaruhi oleh: ketidak seimbangan yang terdapat antara sector industri kecil di daerah-daerah pedesaan, pengaruh kondisi kekuasaan setempat serta ketergantungan yang ditimbulkan olehnya, masalah yang tidak memadai serta kurang tegasnya dalam realisasi kebijakan di sector industri dan perekonomian, serta adanya faktor budaya masyarakat setempat”
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap maraknya dunia prostitusi. Sesuai dengan penelitian yang mengkaji kehidupan PSK di Majalengka, setelah melakukan pengamatan sepintas ternyata banyak fakta yang mengejutkan dilapangan. Seperti ; PSK yang sudah bekerja keras seharian harus rela membagi pendapatannya dengan mamih (germo) dan calo (perantara). Yang paling memprihatinkan pembagian tersebut dapat dikatakan tidak adil, karena mereka hanya mendapat bagian sebesar 25-50% dari keseluruhan pendapatan dalam satu hari. (Wawancara dengan anggur (nama samaran), tanggal 7 februari 2010).
Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, kondisi ini dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Tetapi walau bagaimanapun praktek “esek-esek” tetaplah haram dimata agama dan melanggar hukum menurut Undang-undang negara, apalagi di Majalengka sendiri sudah berlaku Peraturan Daerah (perda) no 14 tahun 2007 yang melarang segala bentuk prostitusi di kabupaten Majalengka. Mereka terjebak dalam dilema antara ekonomi, norma dan agama. Satu sisi mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan ekonomi, satu sisi mereka malu untik kembali ke kehidupannya semula karena masih banyaknya masyarakat yang memvonis bahwa profesi yang mereka lakukan sangat menjijika, apapun sebabnya. Namun mereka percaya terhadap hari pembalasan (muslim), yang akan membalas semua perbuatan yang mereka lakukan saat ini. Pengabdian terhadap keluarga menjadi faktor pendorong mereka tetap menjalani profesi tersebut, meskipun dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan.
Kondisi-kondisi seperti inilah yang melatar belakangi peneliti mengambil judul: “Kehidupan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Cilumpang Majalengka Tahun 1989-2009” (Suatu kajian Ekonomi dan Sosial-Budaya). Selain itu alasan peneliti mengambil judul tersebut adalah karena , pertama, sepengetahuan peneliti belum pernah ada yang mengungkap prostitusi di Cilumpang dengan pendekatan ekonomi, sosial-budaya pada tahun 1989-2009, khususnya di jurusan pendidikan Sejarah Universitas Galuh Ciamis. Kedua, bomingnya isu ketidakadilan gender di masyarakat yang mendorong peneliti untuk mengungkap permasalahan tersebut, dengan mengkaji para PSK di Cilumpang Majalengka yang notabene adalah wanita yang telah dieksploitasi keindahannya dalam praktek-praktek prostitusi. Ketiga, ketertarikan peneliti tentang pandangan masyarakat terhadap PSK, serta kebenaran isu bahwa masyarakat Indramayu mendorong keluarganya untuk terjun ke dunia PSK. Sementara kurun waktu yang dilpih peneliti adalah dari tahun 1989-2009, selama 20 tahun tersebut akan peneliti ungkap perkembangan kehidupan para PSK di Cilumpang.
I.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagimana perkembangan prostitusi di Majalengka selama kurun waktu 20 tahun dari 1989-2009?”.
Untuk memudahkan dan mengarahkan penelitian ini, agar tidak menyimpang terlalu jauh, maka peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan dalm bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagimana kondisi kehidupan masyarakat Majalengka pada kurun waktu tahun 1989-2009?
2. Bagaimana perkembangan PSK di Cilumpang dalam mempertahankan hidupnya selama kurun waktu 1989-2009?
3. Bagaimana analisis faktor sosial-budaya dan ekonomi PSK di Cilumpang?
4. Apa dampak yang ditimbulkan dari kegiatan prostitusi di Cilumpang? Baik itu bagi PSK nya sendiri, Pemerintah, maupun masyarakat luas.
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. manjelaskan kondisi kehidupan sosial masyarakat Majalengka dari tahun 1989-2009, yang meliputi berbagai sendi kehidupan baik itu kehidupan ekonomi, Sosial, keagamaan, budaya, dan lain-lain, beserta pengaruhnya terhadap peningkatan aktivitas prostitusi di Cilumpang.
2. Menjelaskan serta mengungkap bagaimana kehidupan para PSK di Cilumpang, yang meliputi jam kerja, sistem upah, suka dan duka jadi PSK, serta mendeskripsikan pola hubungan antara PSK dengan germo/mucikari di Cilumpang antara tahun 1989-2009 dalam persfektif sosial-budaya dan ekonomi.
3. Menganalisis pengaruh kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat Cilumpang pada kurun waktu 1989-2009 terhadap perkembangan prostitusi yang dilakukan para PSK di Cilumpang-Majalengka.
4. Menganalisis dampak yang ditimbulkan para PSK, baik itu bagi para PSK-nya sendiri, pemerintah dan masyarakat luas, yang meliputi berbagai pandangan masyarakat terhadap para PSK.
Dari data ILO ( International Labour Organization) menyebutkan bahwa terdapat beberapa daerah di Indonesia yang memiliki intensitas paling tinggi dalam praktek-praktek perdagangan wanita (Trafficking). Daerah-daerah tersebut diantaranya adalah Jawa Barat : Indramayu, Sukabumi, dan Karawang. Jawa Tengah : Jepara, Pati dan Pekalongan, serta Jawa Timur : Jember, Banyuwangi, dan sampang. Sementara dari luar Jawa, antara lain Binjai, Belawan (Sumatera Utara), pariaman (Sumatera Barat), Manado dan kendari (Sulawesi).
Meski Majalengka tidak masuk jajaran daerah yang telah disebutkan tadi, namun prostitusi di majalengka tidak boleh dipandang sebelah mata. Pasalnya letak majalengka yang berada dijalur Pantura, serta berdekatan dengan Indramayu membuat para PSK asal Indramayu menjadikan Majalengka sebagai daerah pilihan ke tiga setelah Bandung dan Jabodetabek. Tak heran di Majalengka sendiri khususnya di Cilumpang sebagian besar PSK nya berasal dari Indramayu. Apalagi setelah Saritem ditutup dan Majalengka sedang membangun Bandara Internasional membuat PSK asal Indramayu terus bertambah. Daerah-daerah yang menjadi pemasok wanita penghibur tersebut meliputi beberapa desa di kabupaten Indramayu diantaranya kecamatan Bongas, Sukra, dan Anjatan. (http://.gatra.com/2002-10-08/versi_cetak.php?id=211769). Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani, daerah miskin dengan angka putus sekolah tinggi, kualitas sumber daya manusia rendah serta tradisi kawin muda dan kawin-cerai masih dianut masyarakat (Wahyudi, dkk,2004:7). Berbeda dengan Indramayu, wanita penghibur yang asli berasal dari Majalengka tidak begitu banyak. Mereka tersebar di beberapa tempat seperti di Terminal Cigasong, Rajagaluh, kadipaten dan Jatiwangi (Cilumpang). Mereka umumnya berasal dari keluaraga kurang mampu yang taraf pendidikannya rendah.
Para PSK biasanya tertarik dengan bujukan para calo yang bekerja untuk perusahaan penyalur tenaga kerja tertentu yang sudah pasti illegal, bahwa mereka akan mendapakan gaji yang besar dan jaminan hidup yang memadai, namun ternyata mereka malah dipekerjakan sebagai PSK. Mudahnya para wanita tersebut menjadi korban penipuan, tidak lain adalah karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Karena sebagian besar dari mereka hanya berijazah sekolah dasar. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya pandangan masyarakat setempat yang menganggap bahwa pendidikan untuk bagi Hawa tidak terlalu penting, meskipun mereka berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya akan tetap kembali ke Kasur, Sumur, dan Dapur. Paham seperti inilah yang harus diberantas agar jumlah wanita penghibur dapat berkurang.
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa wanita dan anak-anak di Indonesia masih sangat bergantung pada orang tua, mereka masih berada dalam posisi yang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri. anak rentan terhadap permintaan dan harapan dari orang yang lebih tua, terutama orang tua mereka sendiri. wanita Indonesia memiliki sebuah tanggung jawab sosial yang besar dalam perekonomian keluarga. Semenjak krisis ekonomi tahun 1997, keikut sertaan wanita dalam perekonomian menjadi strategi utama untuk kelangsungan hidup bagi banyak keluarga Indonesia. (Rosenberg, 2003: 99)
Budaya masyarakat Indramayu yang menyiratkan betapa rendahnya moral mereka, dan menjadi salah satu penyebab maraknya prostitusi di Indramayu adalah sebagai berikut : contoh, masyarakat Indramayu ada yang beranggapan bahwa menjadi pelacur bukanlah suatu aib, selain itu seandainya anak wanitanya berparas cantik, dianggap sebagai aset yang dapat dijual. Bahkan janda dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan. Budaya inilah yang dibawa PSK asal Indramayu, yang lambat laun mempengaruhi budaya setempat, maka tidak jarang wanita di daerah-daerah prostitusi di Majalengka khususnya di Cilumpang turut meramaikan dunia prostitusi di tanah kelahirannya.
Selain faktor budaya, faktor spiritual juga sangat mempengaruhi maraknya aktivitas prostitusi di majalengka. Sebagian besar wanita yang terjun ke dunia prostitusi terbut rata-rata pemahaman tentang agamanya sangat kurang. Pola pengasuhan anak dalam keluarga sangant mempengaruhi tingkat keberhasilan anak tersebut. Jika orang tua kurang memberikan pendidikan agama pada anaknya maka akibat yang akan muncul adalah anak tersebut akan mudah terpengaruh, mudah terjerumus ke hal-hal negatif seperti dunia prostitusi.
Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang lemah juga sangat mempengaruhi, mereka cenderung memilih pekerjaan yang tidak menuntut keahlian dan keterampilan yang tinggi, yang salah satunya adalah dunia Prostitusi. Seperti yang di ungkapkan Christian Lempelius dan Gert Thomas (1979:2), sebagai berikut:
“kondisi-kondisi pokok yang menentukan perkembangan usaha industri kecil di daerah-daerah pedesaan dipengaruhi oleh: ketidak seimbangan yang terdapat antara sector industri kecil di daerah-daerah pedesaan, pengaruh kondisi kekuasaan setempat serta ketergantungan yang ditimbulkan olehnya, masalah yang tidak memadai serta kurang tegasnya dalam realisasi kebijakan di sector industri dan perekonomian, serta adanya faktor budaya masyarakat setempat”
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap maraknya dunia prostitusi. Sesuai dengan penelitian yang mengkaji kehidupan PSK di Majalengka, setelah melakukan pengamatan sepintas ternyata banyak fakta yang mengejutkan dilapangan. Seperti ; PSK yang sudah bekerja keras seharian harus rela membagi pendapatannya dengan mamih (germo) dan calo (perantara). Yang paling memprihatinkan pembagian tersebut dapat dikatakan tidak adil, karena mereka hanya mendapat bagian sebesar 25-50% dari keseluruhan pendapatan dalam satu hari. (Wawancara dengan anggur (nama samaran), tanggal 7 februari 2010).
Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, kondisi ini dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Tetapi walau bagaimanapun praktek “esek-esek” tetaplah haram dimata agama dan melanggar hukum menurut Undang-undang negara, apalagi di Majalengka sendiri sudah berlaku Peraturan Daerah (perda) no 14 tahun 2007 yang melarang segala bentuk prostitusi di kabupaten Majalengka. Mereka terjebak dalam dilema antara ekonomi, norma dan agama. Satu sisi mereka melakukannya dengan terpaksa karena kebutuhan ekonomi, satu sisi mereka malu untik kembali ke kehidupannya semula karena masih banyaknya masyarakat yang memvonis bahwa profesi yang mereka lakukan sangat menjijika, apapun sebabnya. Namun mereka percaya terhadap hari pembalasan (muslim), yang akan membalas semua perbuatan yang mereka lakukan saat ini. Pengabdian terhadap keluarga menjadi faktor pendorong mereka tetap menjalani profesi tersebut, meskipun dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan.
Kondisi-kondisi seperti inilah yang melatar belakangi peneliti mengambil judul: “Kehidupan Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Cilumpang Majalengka Tahun 1989-2009” (Suatu kajian Ekonomi dan Sosial-Budaya). Selain itu alasan peneliti mengambil judul tersebut adalah karena , pertama, sepengetahuan peneliti belum pernah ada yang mengungkap prostitusi di Cilumpang dengan pendekatan ekonomi, sosial-budaya pada tahun 1989-2009, khususnya di jurusan pendidikan Sejarah Universitas Galuh Ciamis. Kedua, bomingnya isu ketidakadilan gender di masyarakat yang mendorong peneliti untuk mengungkap permasalahan tersebut, dengan mengkaji para PSK di Cilumpang Majalengka yang notabene adalah wanita yang telah dieksploitasi keindahannya dalam praktek-praktek prostitusi. Ketiga, ketertarikan peneliti tentang pandangan masyarakat terhadap PSK, serta kebenaran isu bahwa masyarakat Indramayu mendorong keluarganya untuk terjun ke dunia PSK. Sementara kurun waktu yang dilpih peneliti adalah dari tahun 1989-2009, selama 20 tahun tersebut akan peneliti ungkap perkembangan kehidupan para PSK di Cilumpang.
I.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagimana perkembangan prostitusi di Majalengka selama kurun waktu 20 tahun dari 1989-2009?”.
Untuk memudahkan dan mengarahkan penelitian ini, agar tidak menyimpang terlalu jauh, maka peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan dalm bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagimana kondisi kehidupan masyarakat Majalengka pada kurun waktu tahun 1989-2009?
2. Bagaimana perkembangan PSK di Cilumpang dalam mempertahankan hidupnya selama kurun waktu 1989-2009?
3. Bagaimana analisis faktor sosial-budaya dan ekonomi PSK di Cilumpang?
4. Apa dampak yang ditimbulkan dari kegiatan prostitusi di Cilumpang? Baik itu bagi PSK nya sendiri, Pemerintah, maupun masyarakat luas.
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. manjelaskan kondisi kehidupan sosial masyarakat Majalengka dari tahun 1989-2009, yang meliputi berbagai sendi kehidupan baik itu kehidupan ekonomi, Sosial, keagamaan, budaya, dan lain-lain, beserta pengaruhnya terhadap peningkatan aktivitas prostitusi di Cilumpang.
2. Menjelaskan serta mengungkap bagaimana kehidupan para PSK di Cilumpang, yang meliputi jam kerja, sistem upah, suka dan duka jadi PSK, serta mendeskripsikan pola hubungan antara PSK dengan germo/mucikari di Cilumpang antara tahun 1989-2009 dalam persfektif sosial-budaya dan ekonomi.
3. Menganalisis pengaruh kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat Cilumpang pada kurun waktu 1989-2009 terhadap perkembangan prostitusi yang dilakukan para PSK di Cilumpang-Majalengka.
4. Menganalisis dampak yang ditimbulkan para PSK, baik itu bagi para PSK-nya sendiri, pemerintah dan masyarakat luas, yang meliputi berbagai pandangan masyarakat terhadap para PSK.
saran : sebaiknya pemerintah lebih banyak membuka
lapangan pekerjaan bagi kaum wanita. Sehingga mereka tidak perlu bekerja
sebagai psk. Dan memperluas pelatihan pelatihan untuk membuka usaha. Agar
tercipta kekreatifitasan untuk membuka suatu usaha/ pekerjaan yg lebih baik.
RICKY REYHANDIKA ROUZY
16112291
1KA38 - UNIVERSITAS GUNADARMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar